Yup… ini kalimat yang kesekian untuk memulai catatan ini
hehehe. Aku bingung mau memulainya dari mana. Aku sudah menceritakan bagaimana
masa kecilku.
Dulu aku begitu dekat dengan ibuku, segala sesuatu dilakukan
bersama ibuku. Ibuku tipe orang yang keras. Aku tak tahu apa yang membuatnya
begitu keras mendidikku. Begitu protektif sehingga terkesan dia sangat
overprotek padaku.
Aku mengeti dengan cerita pahit hidupnya. Mungkin hal itu
yang membuat ibuku seperti ini. Dia tak ingin aku mengalami hal yang sama yang
telah dia alami. Pada intinya aku sadar dan benar-benar tahu dia begitu
menyayangiku. Berperan single parent untuk ku, aku tau itu sulit. Tak pernah
mengeluh meski sulitnya menjalani hidup sebagai single parent.
Ibu menyiapkan dan menyediakan segala sesuatu yang ku
butuhkan hingga saat ini. Hingga
umurku yang terbilang dewasa ibuku terus
berusaha membuat aku tak kekurangan satu hal pun. Yaaa… aku sadari itu demi
kebaikanku. Dia mencuci bajuku,
menyiapkan makanan untukku meski kita hidup berjauhan, karena aku harus kerja
di kota, dan ibuku tinggal di desa bersama adik-adikku. Bahakan ketika ibuku
mampir kerumahku dia selalu membersihkan dan merapikan rumahku. Aku tak punya
banyak waktu di rumah, aku harus kerja dan kulia. Sehingga pekerjaan rumah
sering terabaikan. Segala kebutuhanku
selalu di usahakannya untuk di penuhi olehnya. Ketika aku pulang larut dia
selalu memarahiku. Yaaa… aku tau ibu kawatir. Maafkan aku.
Aku sering iri degan teman-teman ku ketika mereka
menceritakan kisah mereka bersama ibu mereka. Mereka bisa curhat, bisa
memyampaikan apa yang mereka rasakan, apa yang mereka mau, apa yang mereka tidak
mau dan bisa menyampaikan pendapat mereka. Tapi aku? Aku bahkan tidak bisa
mengungkapkan setidak sukaanku akan hal-hal yang selalu ibu paksakan
terhadapku. Ibu selalu mengekangku dengan sifat overproteknya dan sifat
otoriternya. Apa yang menjadi perinta aku harus perbuat, jika tidak aku selalu
di sebut anak pembangkang. Dengan keadaan begitu dan keadaan mentalku yang
terlah tercipta selama ini, mental yang penakut, pemalu, tertutup, pendiam dan
minder, aku selalu hanya mematuhi apa yang diperintahkan ibuku sehingga
terkesan aku ini anak yang penurut. Bahkan bakaian yang tak ingin aku pakai,
acara yang tak ingin aku datangi, hal-hal yang tak ingin aku lakukan, dan
hal-hal lain yang semuanya bertolak belakang dengan keinginanku selalu
dipaksakan untuk ku lakukan. Tak jarang aku selalu menangis sambil melakukan
semuanya. Selama ini Tidak pernah ku temui kelembutan dan kenyamanan saat
komunikasi. Semua hanya tekanan dan perintah, seperti titah raja kepada
budaknya, dan si budak hanya bisa melaksanakan, karna titah raja adalah
perintah, jika A akan selamanya A tidak akan beruba menjadi B, kalaupun berubah
itu artinya melawan. Dan selama ini tak ada yang berani bembantah, membangkang
dan maupun melawan titah raja, hanya bisa melaksanakan dibawa tekanan yang ada.
Tapi aku hanya bisa lakukan, tanpa bisa membantah sehingga bertahun-tahun aku
terkekang dengan keadaan seperti itu. Aku mulai berontak dalam pikiranku. Aku mulai
capek di atur-atur sampai hal terkecilpun. Contohnya mau gunting rambut model
apa aja selalu mama yang nentuin, mau ikat rambut model seperti apa mama yang
nentuin, mau ke gereja pakai baju apa mama yang nentuin. Aku bosan, aku capek,
aku sedih, sekaligus aku tidak bisa buat-apa2. Aku terlalu takut terhadap
ibuku. Entah kenapa mental yang tercipta hanya rasa takut.
Aku tak merasakan dipeluk ketika aku menangis, ibu selalu
membiarkanku menangis dalam malam gelap setelah (tanpa sadar) ia menyakitiku.
Aku hidup dengan ibuku yang tidak dekat dengan ku, mungkin
di sebabkan karena dia yang selalu meninggalkan ku sejak kecil, dengan berjuta
alasan, mungkin kerja, merantau, tapi aku tau semua untukku. Tapi sisi
negatifnya semua hal itu menciptakan tembok batasan antara aku dan ibuku, dan
sampai saat ini belum ada hal yang mampu merbohkan tembok itu. Malahan aku rasa
tembok itu semakin tinggi dan kokoh, sehingga satu sama lain tak dapat saling
memandang dan memerhatikan bahwa mereka saling peduli dan melindungi.
Aku tak pernah merasakan bagaimana rasanya ditanya “kamu
kenapa?” “kenapa menangis?” ibu selalu berasumsi yang buruk ketika aku
melakukan sesuatu yang bukan kehendaknya. Ibu tidak pernah melihat sisi positif
terhadap setiap orang dan itu berlaku terhadap aku juga. Ibu selalu memandang
dari sisi kesalahanku tidak pernah memandang dari sisi ‘alasan’, kenapa
sehingga aku melakuka kesalahan?? Apa panyebabnya?
Apa alasannya ada dalam diriku?? Atau sebaliknya ada dalam dirinya??.
Ibu selalu berpikir orang tua selalu benar. Dan hal yang
terburuk…ibu melarang ku bertemu dengan orang yang sangat ku sayangi. Semua hal
yang tidak pernah ku miliki dari keluargaku, semua hal yang tidak pernah ke
dapati dari seorang ayah dan ibu, semua hal yang tidak pernah di ajarkan di
sekolah dan bahkan tidak pernah di ajarkan ibuku, dia mengajari semuanya. Tapi apa
daya… lagi-lagi kembali ke mental diriku yang selama ini tercipta. Aku tidak
dapat membanta ibuku. Aku tidak mampu mengungkapkan perasaanku dan mengubah
pandangan dia terhadap hubungan kami. Dan disinilah letak klimaks dari masalah
aku dan ibuku. Hal-hal yang selama ini ku pendam, semua meletus seperti gunung
yang selama ini terlihat diam tapi sebenarnya di tumpuk dan siap-siap suatu
saat meledak, mengeluarkan larva panas yang selama ini ku pendam.
Akhir-akhir ini aku sering diam, hal-hal kecil membuatku
emosi. Dalam diriku dominan penuh dengan pemberontakan. aku mulai enggan bicara
dengan ibuku. apa yang ditanyakan hanya itu yang ku jawab. Bahkan aku tidak
nyaman berada di rumah kalau ada keluargaku lengkap, aku sering keluar dan
pulang larut sehingga sesampai dirumah aku tidur, dan paginya langsung
berangkat kerja. Pikiranku kacau. tapi sampai saat ini ibuku tak mengerti apa
yang kubutuhkan. Aku tak pernah merasakan benar-benar bahagia. Tak jarang
bahkan makan pun aku dalam keadaan menangis. Aku menjadi sosok penyendiri dan
pemikir. Memikirkan semua persaanku yang tidak terungkapkan. Aku rindu ibu yang
dulu sebelum bekerja, sebelum ada ayah dan adik-adik. Hanya kita berdua. Aku ingin
sekali menyampaikan isi hatiku. Tapi aku tak dapat menghancurkan tembok besar
penghalang di antara kami. Aku ingin
menyelesaikan semua ini, aku ingin memperbaiku semuanya, aku ingin keluargaku
pulih, dan aku ingin menjadi lebih baik. Aku tak ingin seperti ini…
Buuu aku tak butuh uang, aku tak butuh pakaian mewa, aku tak
butuh rumah besar, aku tak butuh rumahku bersih setiap saat, baju-bajuku bersih
dan wangi, aku tak butuh selalu ada makanan yang ibu sediakan. Semua itu bisa
aku bayar dengan uang. Aku bisa kerja keras untuk mendapatkan semua itu. Tapi sekeras
apapun aku bekerja, sebanyak apapun uangku, aku tidak dapat membeli
keharmonisan keluarga, aku tidak bisa membayar kedamaian dalam keluarga,
kenyamanan dalam rumah, saling terbuka antara satu anggota keluarg dengan yang
lainnya. Aku tidak dapat menyewa orang untuk menjadi pendengar yang setia
ketika aku menyampaikan isi hatiku.. aku butuh semua itu bu. Bukan uang atau
hal-hal lain yang ibu anggap penting.
tidak bisakah ibu mengubah sedikit kebiasaan ibu?? Ibu selalu
marah-marah untuk hal-hal kecil yang selalu membuat aura dalam rumah tidak
nyama??
Tidak bisakah ibu lebih memandang sisi positif setiap orang?
Bukan sisi negatifnya? Ibu selalu terfokus kepada hal-hal buruk seseorang tanpa
memandang hal positif orang tersebut. Semua orang memiliki hal positif dan juga
hal negative dalam dirinya. Sebaliknya bagaimana perasaan ibu jika seseorang
tidak pernah memperhitungkan sisi positif dalam diri ibu??
Tidak bisakah ibu lebih mementingan bagaimana pandangan 1
anggota keluarga terhadap 1 anggota kelurga lainnya ? bukan pandangan orang
lain terhadap kita? Ibu memiliki sifat ego yang tinggi, susah untuk merendahkan
hati menerima kritikan, menerima saran, mengakui kesalahan, dan mengakui
kelemahan. Ibu selalu berusaha tampil sempurnah di depan orang-orang. Berusaha terlihat
tanpa kelemahan di depan orang-orang. Menempatkan standar harga diri yang
terlalu tinggi, meski keharmonisan keluarga hancur. Ketika orang mengatakan ini
dan itu, dan ketika ibu tertekan dengan perkataan buruk orang-orang. Ibu selalu
menekan kami anggota keluarga. Menekan kami utuk terlihat baik di mata mereka. Tak
sadarkah ibu bahwa kehidupan kita di ombang ambingkan oleh mulut orang lain?? Tak
sadarkan ibu bahwa ibu selalu berusaha membuat orang lain senang, menjaga
perasaan orang lain tapi mengorbankan kebahagiaan anggota keluarga ibu
sendiri??
Tidak bisakah ibu lebih memprioritaskan kenyamanan dari pada
kebersihan dan kerapian?? Aku lebih nyaman ketika ada kedamaian dan keharmonisan
dalam keluargaku walau keadaan rumah berantakan. Daripada sebaliknya. Semua bersih,
indah dan rapi tapi aku selalu tidak nyaman berada dalam rumah.
Tidak bisakah ibu lebih memandang kepada alasan bukan kepada
kesalahan?? Setiap orang pernah melakukan kesalahan dengan alasan yang berbeda.
Tidak ada kesahan yang paling besarsehingga tidak berhak mendapat pengampunan. Dan
tidak semua kesalahan dilakukan dengan sengaja tanpa memiliki alasan yang
jelas. Kita semua memilii kesalahan, ibu memiliki kesalahan. Tapi Tuhan
mengampuni kesalahan kita tanpa memandang bulu.
Tidak bisakah ibu hidup untuk kebahagian kedepan tanpa
memandang masa lalu??
Tidak bisakah ibu lebih mementingkan kebahagian anaknya
dengan mengabaikan ke-ego-an ibu yang teramat besar?
Tidak bisakah ibu untuk lebih menerima orang lain apa
adanya?? Bukan menuntut kesempurnaan? Bagaiana kalau prinsip yang sama aku
terapkan terhadap ibu?? Aku ingin ibu yang sempurnah, yang bisa menjadi teman
bagiku, bisa mengajarkan bagaimana mengampuni dengan tulus, bagaimana menerima
orang lain apa adanya, bagaimana memaafkan lalu kemudian melupakan??
Aku ingin menyampaikan semua ini.. suatu saat.. yaa suatu
saat. Hanya tunggu waktu saat aku benar-benar tertekan.
0 komentar:
Posting Komentar